1. Apakah yang dimaksud dengan gratifikasi?
Menurut UU No. 20 tahun 2001, penjelasan pasal 12b ayat (1) , gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik ataupun tanpa sarana elektronik.
2. Mengapa gratifikasi perlu dilaporkan?
Korupsi seringkali berawal dari kebiasaan yang tidak disadari oleh setiap pegawai negeri dan pejabat penyelenggara negera, misalnya penerimaan hadiah oleh pejabat penyelenggara/pegawai negeri dan keluarganya dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar. Hal semacam ini semakin lama akan menjadi kebiasaan yang cepat atau lambat akan memengaruhi pengambilan keputusan oleh pegawai negeri atau pejabatpenyelenggara negara yang bersangkutan. Banyak orang berpendapat bahwa pemberian tersebut sekadar tanda terima kasih dan sah-sah saja. Namun, perlu disadari bahwa pemberian tersebut selalu terkait denganjabatan yang dipangku oleh penerima serta kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima serta kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa.
3. Siapakah yang dimaksud "pejabat penyelenggara negara" dan "pegawai negeri" dalam konteks gratifikasi ini?
Berdasarkan UU No. 28 tahun 1999, bab II pasal 2, penyelenggara negera meliputi pejabat negera pada lembaga tertinggi negara; pejabat negara pada lembaga tinggi negara; menteri; gubernur; hakim; pejabat negara lainnya seperti duta besar, wakil gubernur, bupati; wali kota dan wakilnya; pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis seperti: komisaris, direksi, dan pejabat struktural pada BUMN dan BUMD; pimpinan Bank Indonesia; pimpinan perguruan tinggi; pejabat eselon I dan pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer; jaksa; penyidik; panitera pengadilan; dan pimpinan proyek atau bendaharawan proyek.
Sementara yang dimaksud dengan pegawai negeri, sesuai dengan UU No 31. tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan No. 20 Tahun 2001, meliputi: pegawai pada MA dan MK; pegawai pada kementerian/departemen &LPDN; pegawai pada Kejagung; pegawai pada Bank Indonesia; pimpinan dan pegawai pada sekretariat MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi/Dati II; pegawai pada perguruan tinggi; pegawai pada komisi atau badan yang dibentuk berdasarkan UU, Kepres, maupun PP; pimpinan dan pegawai pada sekretariat presiden, sekretariat wakil presiden, dan seskab dan sekmil; pegawai pada BUMN dan BUMD; pegawai pada lembaga peradilan; anggota TNI dan Polri serta pegawai sipil di lingkungan TNI dan Polri; serta pimpinan dan pegawai di lingkungan pemerintah daerah daerah tingkat I dan II.
4. Apakah yang menjadi dasar hukum gratifikasi?
Berdasarkan UU No. 20 tahun 2001 pasal 12b ayat (1), setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pembuktian terbalik) Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penuntut umum. Ditambahkan dalam pasal 12b ayat (2), ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12b ayat (1) tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal gratifikasi tersebut diterimanya.
5. Apakah terdapat sanksi jika tidak melaporkan gratifikasi?
Ya, pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 12b ayat (1) adalah: Pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
6. Bagaimanakah tata cara pelaporan gratifikasi?
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada KPK, dengan tata cara sebagai berikut: Penerima gratifikasi wajib melaporkan penerimaannya selambat-lambatnya 30 (tiga uluh) hari kerja kepada KPK, terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima.
Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh KPK dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi Formulir yang dimaksud sekurang-kurangnya memuat nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; tempat dan waktu penerima gratifikasi; uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan nilai gratifikasi yang diterima. Untuk melaporkan praktik gratifikasi, praktik KKN, dan penyelewengan lainnya di lingkungan Balai Besar Keramik dapat melapor melalui Whistle Blowing System & Unit Pelayanan Gratifikasi.
7. Apa saja contoh-contoh gratifikasi?
Beberapa contoh kasus gratifikasi baik yang dilarang berdasarkan ketentuan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 maupun yang tidak. Tentu saja hal ini hanya merupakan sebagian kecil dari situasi-situasi terkait gratifikasi yang seringkali terjadi.
Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi adalah:
- Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma.
- Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut.
- Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan.
- Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat.
- Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan.
- Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja.
- Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu.
8. Langkah apa yang dapat dilakukan jika menerima gratifikasi
Jika anda memiliki posisi sebagai penyelenggara negara atau pegawai negeri menerima gratifikasi maka langkah yang terbaik yang bisa anda lakukan (jika anda dapat mengidentifikasi motif pemberian adalah gratifikasi ilegal) adalah menolak gratifikasi tersebut secara baik, sehingga sedapat mungkin tidak menyinggung perasaan pemberi.
Jika keadaan memaksa anda menerima gratifikasi tersebut, misalnya pemberian terlanjur dilakukan melalui orang terdekat anda (suami, istri, anak, dan lain-lain) atau ada perasaan tidak enak karena dapat menyinggung pemberi, maka sebaiknya gratifikasi yang diterima segera dilaporkan ke KPK. Jika instansi anda kebetulan adalah salah satu instansi yang telah bekerjasama dengan KPK dalam Program Pengendalian Gratifikasi (PPG), maka anda dapat melaporkan langsung di instansi anda.